MENJADIKAN BUMI SEBAGAI IBU SUSUAN


Judul Buku: Menuju Keselarasan Lingkungan: Memahami Sikap Teologis Manusia terhadap Pencemaran Lingkungan
Penulis: Y. Eko Budi Susilo
Penerbit: Averroes Press, Malang
Cetakan: Pertama, Desember 2003
Tebal: xvi + 156 halaman

Ada dua kontradiksi sifat antara manusia dan alam. Manusia memiliki sifat menguasai, sifat ini senantiasa ada seiring keberadaan manusia. Sementara alam memiliki sifat dikuasai yang akan habis jika tidak dikelola secara manusiawi, terjelma keseimbangan ekologis. Jika manusia hanya mementingkan kebutuhannya tanpa memperhatikan keseimbangan alami yang terdapat dalam lingkungannya, niscaya alam tak lagi menjadi bagian ekosistem yang mensejahterakan kehidupan, sebaliknya ia akan menjadi bencana.

Berangkat dari kegelisahan penulisnya atas kerusakan alam yang terus digulirkan oleh sikap serakah manusia, buku ini hadir. Mengapa kita sebagai bangsa yang memiliki sistem religiusitas yang kuat ternyata memiliki perangai yang kerap bertentangan dengan upaya penyelamatan lingkungan? Mengapa manusia begitu serakah mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan masa depannya, dengan demikian masa depan manusia itu sendiri? Apakah ajaran agama yang menyiratkan bahwa kebutuhan generasi mendatang harus juga diprioritaskan, tidak diresapi sebagai makna yang mendalam? Mengapa semua harus berorientasi pada pemenuhan ambisi dan keserakahan? Beberapa pertanyaan inilah yang sedikit banyak direfleksikan, dijawab, dan disikapi penulis buku ini.

Sungguh menyedihkan, banyak manusia kekinian yang mengaku sebagai makhluk beragama ternyata tak mampu menunjukkan perilaku agamanya. Mengaku sebagai manusia modern ternyata tak mampu berperilaku modern. Memang diakui, ilmu pengetahuan dan teknologi modern sejak 300 tahun terakhir ini telah mengalami perubahan spektakuler dalam kehidupan umat manusia. Tapi di balik itu, yang amat merisaukan adalah bahwa kemajuan yang serupa tidak ditemui pada aspek moral manusia. Pengelolaan limbah industri yang tidak becus, penebangan hutan secara liar, penambangan pasir secara brutal yang tidak memperhatikan koridor yang ada, dan sejumlah perilaku lainnya yang mengancam keselarasan alam, terus mengada.

Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi modern, budaya materialistis dan konsumtif pun turut berkembang sedemikian rupa. Manusia telah terpasung dalam sangkar the tyranny of purely material aims, meminjam frasa Bertrand Russel dalam bukunya The Prospects of Industrial Civilization. Tidak berlebihan jika Fritjof Capra dalam bukunya The Turning Point: Science, Society and Rising Culture menuturkan bahwa saat ini kita berada dalam suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Ini adalah sebuah krisis yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kehidupan manusia di bumi.

Seorang sejarawan terkenal, A.J. Toynbee, menyimpulkan bahwa penyebab krisis peradaban kita saat ini adalah berkepingnya kesatuan pandangan hidup abad pencerahan dan kegagalan untuk menggantinya dengan bingkai rujukan yang lain. Ideologi humanisme dicap sebagai sumbu malapetaka semesta ini. Humanisme memfigurkan manusia sebagai titik pusat alam (antroposentris) yang bergerak ke arah pengukuran manusia sebagai superman. Manusia menganggap alam sebagai obyek yang fana yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia. Akibatnya, demi memenuhi ambisi dan nafsu materialismenya, manusia mengeksploitasi alam secara brutal dan masalah lingkungan pun semakin akut.

Setidaknya ada dua faktor, ditengarai di buku ini, yang mempengaruhi dan mendorong manusia kekinian bersikap serakah dan berperilaku tidak ramah lingkungan (hal. 19-21). Pertama, orientasi pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kesejahteraan dalam paradigma pertumbuhan ekonomi tampaknya melahirkan sesuatu yang pasti: kerusakan lingkungan. Keberhasilan paradigma pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan kerap harus dicapai melalui pengorbanan (at the expense of) yang berupa deteriorasi ekologis baik yang berwujud soil depletion, penyusutan nonrenewable resources maupun desertifikasi.

Kedua, sikap hidup materialisme. Sikap hidup yang sepenuhnya berorientasi pada materialisme membuat manusia cenderung bersikap serakah. Seolah-olah segala sesuatu harus dimiliki. Misalnya, eksploitasi hutan secara besar-besaran, semata-mata bertujuan memenuhi kebutuhan ekonomi instan, melupakan hak generasi mendatang, dan melalaikan penyelamatan hutan itu sendiri.

Untuk menanggapi dan menanggulangi masalah kerusakan lingkungan, sejumlah aturan sebenarnya telah dimunculkan, di Indonesia khususnya. Pemerintah telah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemeliharaan, pemanfaatan atau penggunaan serta proses-proses eksplorasinya untuk mencegah terjadinya eksploitasi alam yang brutal (hal.79). Namun, kebijakan nasional yang ada tampaknya masih terbatas dalam pendekatan sektoral, belum terlihat sebagai suatu keadaan yang integralistik, di mana setiap bagian dari sumberdaya alam itu tidak dapat dipisahkan dari bagian lainnya.

Kerusakan alam, berkait erat dengan penipisan berbagai sumberdaya alam, polusi dan pencemaran, racun, kebakaran hutan, kesehatan lingkungan serta perubahan iklim, menuntut penanganan mendesak, tidak saja dicapai pada tingkat nasional melainkan juga internasional. Pemecahan masalah itu tidak dapat dicapai hanya melalui sarana teknologi, tetapi terutama melibatkan perubahan mendasar di bidang ekonomi, model-model pembangunan, gaya hidup, distribusi sumberdaya, pendapatan, serta hubungan politik internasional pun terutama segi moral manusianya.

Yang dibutuhkan saat ini adalah satu pandangan hidup yang meletakkan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang diserahi tanggungjawab Tuhan untuk mengelola alam, tapi tidak kemudian menjadikan dirinya sebagai pusat kosmos yang bisa melakukan apa saja.
Ini hanya mungkin jika meletakkan agama sebagai sarana pembebasan manusia. Pembebasan manusia dari ketertindasan antar sesama manusia berarti bahwa seluruh perwujudan kreativitas manusia dalam memanfaatkan alam tidak berakibat pada penghancuran manusia lainnya. Ini mengandaikan bahwa pembangunan harus etap mempertimbangkan keseimbangan ekologis sehingga pembangunan tidak hanya berarti keuntungan pihak tertentu dan membahayakan pihak lain, baik umat generasi saat ini maupun generasi yang akan datang (hal. 123).

Tepat kiranya merenungkan ungkapan Carolyn Merchant yang menyatakan: gambaran bumi sebagai organisme hidup dan ibu susuan berfungsi sebagai hambatan budaya yang membatasi tindakan manusia. Seseorang tidak akan mudah menyembelih ibunya, menggali isi perutnya untuk mendapatkan emas, atau merusak tubuhnya…. Selama bumi dianggap hidup dan berperasaan, melakukan tindakan yang merusak bumi dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap perilaku etis manusia. (Sunarno)


MENJADI HAJI (TANPA) KORUPSI

Judul Buku: Menjadi Manusia Haji: Panduan Memahami Makna Sosial di Balik Ritus-ritus Haji
Judul asli: Hajj (The Apilgrimage)
Penulis: Ali Syari'ati
Penyadur: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Mujadalah, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2003
Tebal Buku: 289 halaman

Sumber Gambar: https://twitter.com/WarungSejarahRI/status/892387544339435520/photo/1


"Kawan, sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji! Dan engkau belum menghamba kepada Alloh!
Memang engkau sudah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka'bah!
Memang engkau sudah menghambur-hamburkan uang untuk menawar kerasnya padang pasir! Tetapi mengapa engkau masih belum berubah. Engkau masih menjadi haji korupsi." (hlm. 288-289)

Lingkungan mampu mengubah segalanya. Manusia yang tulus, jujur, dan memiliki sejumlah sifat baik lainya dapat berubah menjadi manusia yang arogan, pendusta, bahkan kadang lebih rendah dari sifat binatang sekalipun. Tak selamanya lingkungan akan mengenakkan tetapi juga tidak selamanya menyedihkan. Anehnya, ketika manusia berbenturan terhadap lingkungan yang tidak mengenakkan atau bahkan menyenangkan sekaligus spontan dari mulut beberapa manusia sering keluar nama-nama binatang. Dengan mantap, seolah merupakan suatu kepuasan, jika seseorang bisa mengucapkan: "Anjing", "Bajingan", "Tikus", "Domba", "Monyet", tidak lain adalah untuk misuh (mengumpat). Yang menjadi pertanyaan apakah dengan misuh, perkara menjadi beres? Ingat misuh tidak akan merubah keadaan.

Buku ini tidak menyuguhkan bagaimana cara misuh yang baik atau cara mencegah orang agar tidak misuh. Setidaknya dengan membaca buku ini, kita akan menjadi tersindir (yang masih bisa disindir). Di satu sisi kita yakin bahwa suatu perbuatan diakui baik tetapi di sisi yang lain kita tidak melaksanakannya atau kebalikannya. Kita melaksanakan suatu amalan namun juga tetap berbuat jahat. Kata orang ini adalah manusiawi. Benarkah? Sebagai muslim kita sudah syahadat, sholat, zakat, puasa, bahkan pergi haji, namun kita masih juga suka misuh, bertindak otoriter, merasa lebih dari yang lain, bahkan korupsi sekalipun.

Belajar Dari Manusia Haji
Belajarlah dari manusia haji! Manusia-manusia haji dituntut untuk mananggalkan pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan 2 helai kain kafan. Dituntut pula untuk melepaskan seluruh pakaian sehari-harinya sebagai: serigala (simbol kekejaman dan penindasan), tikus (simbol kelicikan), anjing (simbol tipu daya), atau domba (simbol penghambaan). (hlm. 30)

Mereka adalah sama sebagai tamu Alloh. Sama sebagai hamba Alloh. Sehingga tak cukup beralasan untuk memposisikan lebih tinggi dari yang lain serta menonjolkan egonya.

Buku "Menjadi Manusia Haji" merupakan hasil dari kemampuan yang terbatas untuk menganalisis dan memberi catatan-catatan singkat atas sebuah drama kolosal yang bertabur simbol dan demikian mengagumkan. (hlm.201) Haji merupakan perpaduan tawaf dengan sa'i yang menghilangkan pelbagai kontradiksi yang selalu membingungkan umat manusia di sepanjang zaman. Materialisme ataukah idealisme? Rasionalisme ataukah petunjuk Ilahi? Dunia atau akhirat? Epicureanisme ataukah asketisme? Kehendak Alloh ataukah kehendak manusia? Bersandar kepada Alloh ataukah kepada masyarakat? Bersandar kepada Alloh ataukah diri sendiri? Dalam hal ini Alloh memberi jawaban: Ambilah keduanya! inilah simpul ajar yang tak pernah bisa disampaikan dengan kata-kata, persepsi, sains atau filsafat, tetapi dengan contoh dengan laku berupa manusia. (hlm. 88)

Memahami Esensi Haji
Esensi haji adalah kunci dari pelaksanaan haji. Jika seseorang tidak menyadari esensi haji yang dilakukannya, maka sepulangnya dari mekkah yang terbawa serta hanya jiwa yang kosong dan buntalan koper yang penuh dengan tanda mata. (hlm.161) Agaknya inilah yang berlaku secara umum pada haji-haji kini. Pergi haji hanya karena ingin bisnisnya lancar, pergi hanya karena dikejar persoalan, pergi haji hanya karena gengsi. Hambar haji seperti itu.

Selesai haji bukan selesai segalanya, urusan lain telah menantinya. Manusia haji harus menjadi contoh baik bukan malah menjadi contoh buruk. Setelah meninggalkan Mina engkau harus menepati janji untuk melakukan apa-apa yang telah diteladankan Ibrahim dan bertanggung jawab untuk menyebarluaskan perintah-Nya. Kembalilah ke jantung masyarakatmu! Serukanlah kepada mereka untuk menegakkan sebuah "negeri yang aman", untuk hidup dalam sebuah "masyarakat yang aman", dan untuk membangun sebuah "rumah" sebagai simbol keamanan, kedamaian, kemerdekaan, keadilan dan cinta kepada manusia. (hlm.206)
Ingat, musuhmu tidak selalu berbentuk senjata dan bala tentara. Dan tidak selamanya ia merupakan pihak luar yang gampang engkau deteksi dan kenali. Mungkin sekali ia merupakan sistem, perasaan, pandangan, sesuatu yang engkau miliki, way of life, kerja, cara berfikir, alat yang berguna, cara berproduksi, cara mengonsumsi, kulturisme, kolonisasi, indoktrinasi religius (religious brainwashing), eksploitasi, relasi sosial, propaganda, dll. (hlm.262-263)

Banyak pelajaran yang bisa kita petik dan terapkan dari proses ritual haji sebagai koreksi terhadap apa yang telah kita lakukan. Apa yang sudah dilakukan para haji. Apakah sudah mendapatkan esensi haji. Atau justru masih tetap tidak berbeda, haji semata-mata untuk gengsi, demi kelancaran bisnis, biar disebut pak/bu haji, atau untuk mengurangi sebagian uang hasil korupsi. (Sunarno)