Judul Buku: Menjadi Manusia Haji: Panduan Memahami Makna Sosial di Balik Ritus-ritus Haji
Judul asli: Hajj (The Apilgrimage)
Penulis: Ali Syari'ati
Penyadur: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Mujadalah, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2003
Tebal Buku: 289 halaman
Sumber Gambar: https://twitter.com/WarungSejarahRI/status/892387544339435520/photo/1
"Kawan, sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji! Dan engkau belum menghamba kepada Alloh!
Memang engkau sudah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka'bah!
Memang engkau sudah menghambur-hamburkan uang untuk menawar kerasnya padang pasir! Tetapi mengapa engkau masih belum berubah. Engkau masih menjadi haji korupsi." (hlm. 288-289)
Lingkungan mampu mengubah segalanya. Manusia yang tulus, jujur, dan memiliki sejumlah sifat baik lainya dapat berubah menjadi manusia yang arogan, pendusta, bahkan kadang lebih rendah dari sifat binatang sekalipun. Tak selamanya lingkungan akan mengenakkan tetapi juga tidak selamanya menyedihkan. Anehnya, ketika manusia berbenturan terhadap lingkungan yang tidak mengenakkan atau bahkan menyenangkan sekaligus spontan dari mulut beberapa manusia sering keluar nama-nama binatang. Dengan mantap, seolah merupakan suatu kepuasan, jika seseorang bisa mengucapkan: "Anjing", "Bajingan", "Tikus", "Domba", "Monyet", tidak lain adalah untuk misuh (mengumpat). Yang menjadi pertanyaan apakah dengan misuh, perkara menjadi beres? Ingat misuh tidak akan merubah keadaan.
Buku ini tidak menyuguhkan bagaimana cara misuh yang baik atau cara mencegah orang agar tidak misuh. Setidaknya dengan membaca buku ini, kita akan menjadi tersindir (yang masih bisa disindir). Di satu sisi kita yakin bahwa suatu perbuatan diakui baik tetapi di sisi yang lain kita tidak melaksanakannya atau kebalikannya. Kita melaksanakan suatu amalan namun juga tetap berbuat jahat. Kata orang ini adalah manusiawi. Benarkah? Sebagai muslim kita sudah syahadat, sholat, zakat, puasa, bahkan pergi haji, namun kita masih juga suka misuh, bertindak otoriter, merasa lebih dari yang lain, bahkan korupsi sekalipun.
Belajar Dari Manusia Haji
Belajarlah dari manusia haji! Manusia-manusia haji dituntut untuk mananggalkan pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan 2 helai kain kafan. Dituntut pula untuk melepaskan seluruh pakaian sehari-harinya sebagai: serigala (simbol kekejaman dan penindasan), tikus (simbol kelicikan), anjing (simbol tipu daya), atau domba (simbol penghambaan). (hlm. 30)
Mereka adalah sama sebagai tamu Alloh. Sama sebagai hamba Alloh. Sehingga tak cukup beralasan untuk memposisikan lebih tinggi dari yang lain serta menonjolkan egonya.
Buku "Menjadi Manusia Haji" merupakan hasil dari kemampuan yang terbatas untuk menganalisis dan memberi catatan-catatan singkat atas sebuah drama kolosal yang bertabur simbol dan demikian mengagumkan. (hlm.201) Haji merupakan perpaduan tawaf dengan sa'i yang menghilangkan pelbagai kontradiksi yang selalu membingungkan umat manusia di sepanjang zaman. Materialisme ataukah idealisme? Rasionalisme ataukah petunjuk Ilahi? Dunia atau akhirat? Epicureanisme ataukah asketisme? Kehendak Alloh ataukah kehendak manusia? Bersandar kepada Alloh ataukah kepada masyarakat? Bersandar kepada Alloh ataukah diri sendiri? Dalam hal ini Alloh memberi jawaban: Ambilah keduanya! inilah simpul ajar yang tak pernah bisa disampaikan dengan kata-kata, persepsi, sains atau filsafat, tetapi dengan contoh dengan laku berupa manusia. (hlm. 88)
Memahami Esensi Haji
Esensi haji adalah kunci dari pelaksanaan haji. Jika seseorang tidak menyadari esensi haji yang dilakukannya, maka sepulangnya dari mekkah yang terbawa serta hanya jiwa yang kosong dan buntalan koper yang penuh dengan tanda mata. (hlm.161) Agaknya inilah yang berlaku secara umum pada haji-haji kini. Pergi haji hanya karena ingin bisnisnya lancar, pergi hanya karena dikejar persoalan, pergi haji hanya karena gengsi. Hambar haji seperti itu.
Selesai haji bukan selesai segalanya, urusan lain telah menantinya. Manusia haji harus menjadi contoh baik bukan malah menjadi contoh buruk. Setelah meninggalkan Mina engkau harus menepati janji untuk melakukan apa-apa yang telah diteladankan Ibrahim dan bertanggung jawab untuk menyebarluaskan perintah-Nya. Kembalilah ke jantung masyarakatmu! Serukanlah kepada mereka untuk menegakkan sebuah "negeri yang aman", untuk hidup dalam sebuah "masyarakat yang aman", dan untuk membangun sebuah "rumah" sebagai simbol keamanan, kedamaian, kemerdekaan, keadilan dan cinta kepada manusia. (hlm.206)
Ingat, musuhmu tidak selalu berbentuk senjata dan bala tentara. Dan tidak selamanya ia merupakan pihak luar yang gampang engkau deteksi dan kenali. Mungkin sekali ia merupakan sistem, perasaan, pandangan, sesuatu yang engkau miliki, way of life, kerja, cara berfikir, alat yang berguna, cara berproduksi, cara mengonsumsi, kulturisme, kolonisasi, indoktrinasi religius (religious brainwashing), eksploitasi, relasi sosial, propaganda, dll. (hlm.262-263)
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dan terapkan dari proses ritual haji sebagai koreksi terhadap apa yang telah kita lakukan. Apa yang sudah dilakukan para haji. Apakah sudah mendapatkan esensi haji. Atau justru masih tetap tidak berbeda, haji semata-mata untuk gengsi, demi kelancaran bisnis, biar disebut pak/bu haji, atau untuk mengurangi sebagian uang hasil korupsi. (Sunarno)
Judul asli: Hajj (The Apilgrimage)
Penulis: Ali Syari'ati
Penyadur: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Mujadalah, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2003
Tebal Buku: 289 halaman
Sumber Gambar: https://twitter.com/WarungSejarahRI/status/892387544339435520/photo/1
"Kawan, sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji! Dan engkau belum menghamba kepada Alloh!
Memang engkau sudah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka'bah!
Memang engkau sudah menghambur-hamburkan uang untuk menawar kerasnya padang pasir! Tetapi mengapa engkau masih belum berubah. Engkau masih menjadi haji korupsi." (hlm. 288-289)
Lingkungan mampu mengubah segalanya. Manusia yang tulus, jujur, dan memiliki sejumlah sifat baik lainya dapat berubah menjadi manusia yang arogan, pendusta, bahkan kadang lebih rendah dari sifat binatang sekalipun. Tak selamanya lingkungan akan mengenakkan tetapi juga tidak selamanya menyedihkan. Anehnya, ketika manusia berbenturan terhadap lingkungan yang tidak mengenakkan atau bahkan menyenangkan sekaligus spontan dari mulut beberapa manusia sering keluar nama-nama binatang. Dengan mantap, seolah merupakan suatu kepuasan, jika seseorang bisa mengucapkan: "Anjing", "Bajingan", "Tikus", "Domba", "Monyet", tidak lain adalah untuk misuh (mengumpat). Yang menjadi pertanyaan apakah dengan misuh, perkara menjadi beres? Ingat misuh tidak akan merubah keadaan.
Buku ini tidak menyuguhkan bagaimana cara misuh yang baik atau cara mencegah orang agar tidak misuh. Setidaknya dengan membaca buku ini, kita akan menjadi tersindir (yang masih bisa disindir). Di satu sisi kita yakin bahwa suatu perbuatan diakui baik tetapi di sisi yang lain kita tidak melaksanakannya atau kebalikannya. Kita melaksanakan suatu amalan namun juga tetap berbuat jahat. Kata orang ini adalah manusiawi. Benarkah? Sebagai muslim kita sudah syahadat, sholat, zakat, puasa, bahkan pergi haji, namun kita masih juga suka misuh, bertindak otoriter, merasa lebih dari yang lain, bahkan korupsi sekalipun.
Belajar Dari Manusia Haji
Belajarlah dari manusia haji! Manusia-manusia haji dituntut untuk mananggalkan pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan 2 helai kain kafan. Dituntut pula untuk melepaskan seluruh pakaian sehari-harinya sebagai: serigala (simbol kekejaman dan penindasan), tikus (simbol kelicikan), anjing (simbol tipu daya), atau domba (simbol penghambaan). (hlm. 30)
Mereka adalah sama sebagai tamu Alloh. Sama sebagai hamba Alloh. Sehingga tak cukup beralasan untuk memposisikan lebih tinggi dari yang lain serta menonjolkan egonya.
Buku "Menjadi Manusia Haji" merupakan hasil dari kemampuan yang terbatas untuk menganalisis dan memberi catatan-catatan singkat atas sebuah drama kolosal yang bertabur simbol dan demikian mengagumkan. (hlm.201) Haji merupakan perpaduan tawaf dengan sa'i yang menghilangkan pelbagai kontradiksi yang selalu membingungkan umat manusia di sepanjang zaman. Materialisme ataukah idealisme? Rasionalisme ataukah petunjuk Ilahi? Dunia atau akhirat? Epicureanisme ataukah asketisme? Kehendak Alloh ataukah kehendak manusia? Bersandar kepada Alloh ataukah kepada masyarakat? Bersandar kepada Alloh ataukah diri sendiri? Dalam hal ini Alloh memberi jawaban: Ambilah keduanya! inilah simpul ajar yang tak pernah bisa disampaikan dengan kata-kata, persepsi, sains atau filsafat, tetapi dengan contoh dengan laku berupa manusia. (hlm. 88)
Memahami Esensi Haji
Esensi haji adalah kunci dari pelaksanaan haji. Jika seseorang tidak menyadari esensi haji yang dilakukannya, maka sepulangnya dari mekkah yang terbawa serta hanya jiwa yang kosong dan buntalan koper yang penuh dengan tanda mata. (hlm.161) Agaknya inilah yang berlaku secara umum pada haji-haji kini. Pergi haji hanya karena ingin bisnisnya lancar, pergi hanya karena dikejar persoalan, pergi haji hanya karena gengsi. Hambar haji seperti itu.
Selesai haji bukan selesai segalanya, urusan lain telah menantinya. Manusia haji harus menjadi contoh baik bukan malah menjadi contoh buruk. Setelah meninggalkan Mina engkau harus menepati janji untuk melakukan apa-apa yang telah diteladankan Ibrahim dan bertanggung jawab untuk menyebarluaskan perintah-Nya. Kembalilah ke jantung masyarakatmu! Serukanlah kepada mereka untuk menegakkan sebuah "negeri yang aman", untuk hidup dalam sebuah "masyarakat yang aman", dan untuk membangun sebuah "rumah" sebagai simbol keamanan, kedamaian, kemerdekaan, keadilan dan cinta kepada manusia. (hlm.206)
Ingat, musuhmu tidak selalu berbentuk senjata dan bala tentara. Dan tidak selamanya ia merupakan pihak luar yang gampang engkau deteksi dan kenali. Mungkin sekali ia merupakan sistem, perasaan, pandangan, sesuatu yang engkau miliki, way of life, kerja, cara berfikir, alat yang berguna, cara berproduksi, cara mengonsumsi, kulturisme, kolonisasi, indoktrinasi religius (religious brainwashing), eksploitasi, relasi sosial, propaganda, dll. (hlm.262-263)
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dan terapkan dari proses ritual haji sebagai koreksi terhadap apa yang telah kita lakukan. Apa yang sudah dilakukan para haji. Apakah sudah mendapatkan esensi haji. Atau justru masih tetap tidak berbeda, haji semata-mata untuk gengsi, demi kelancaran bisnis, biar disebut pak/bu haji, atau untuk mengurangi sebagian uang hasil korupsi. (Sunarno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar